Ujian Nasional yang telah dilaksanakan seminggu yang lalu, tepatnya dimulai tanggal 16 sampai 19 April 2012 untuk SMA, MA ataupun SMK. Minggu ini, mulai hari Senin sampai Kamis, 23 sampai 26 April 2012 telah dan sedang berlangsung Ujian Nasional bagi siswa SMP dan yang sederajat. Ujian Nasional diselenggarakan dengan tujuan antara lain untuk mengukur pencapaian standar kompetensi lulusan peserta didik secara nasional, sebagai hasil dari proses pembelajaran dan sekaligus untuk memetakan tingkat pencapaian hasil belajar siswa pada tingkat sekolah dan daerah.
Sebelum pelaksanaan UN tersebut, sekolah sudah memiliki schedul berupa pelaksanaan Ujian Sekolah. Pelaksanaan Ujian sekolah ini sangat bervariatif, karena setiap satuan pendidikan memang diberikan keleluasaan dalam menyusun soal-soal ujian. Untuk mata pelajaran-mata pelajaran tertentu yang secara umum merupakan mata pelajaran yang di UN-kan soal-soal ujian sekolah biasanya dikendalikan dari K3S (Kelompok Kerja Kepala Sekolah). Artinya dari teknis pembuatan soal-soal ujian sekolah tersebut sampai proses penggandaan dan distribusinya menjadi tanggung jawab K3S.
Disamping itu, kegiatan ujian praktik untuk beberapa mata pelajaran yaitu pendidikan agama dan pendidikan jasmani, olahraga/kesehatan masih mewarnai beberapa tahapan sebelum menempuh Ujian Nasional. Sebagai gongnya, boleh dikatakan Ujian Nasional ini menjadi satu-satunya momok bagi peserta didik. Walaupun saat ini UN tidak 100% menjadi faktor penentu kelulusan bagi peserta didik, namun harus diakui bahwa sejarah buruk telah tercipta di negeri ini dengan pelaksanaan UN tersebut. Banyak peserta didik yang tidak sadarkan diri, jiwanya menjadi labil akibat ketidaklulusan dalam mata pelajaran yang di UN-kan.
Munculnya Tradisi Baru
Ujian Nasional tidak hanya membawa dampak yang kurang baik terhadap peserta didik, pihak sekolah pun secara langsung terkena imbasnya. Rasa ketakutan yang begitu berlebihan dari pihak sekolah sehingga memunculkan tradisi-tradisi baru di sekolah menjelang pelaksanaan Ujian Nasional. Bagaimana persiapan khusus dilakukan oleh sekolah, salah satunya adalah latihan-latihan soal atau try out yang telah dirancang khusus untuk mengkondisikan para peserta didik agar merasa lebih mantap dalam menghadapi ujian tersebut.
Kriteria Kululusan
Setiap peserta didik sudah barang tentu ingin mengakhiri masa pendidikannya di lembaga formal dengan embel-embel "lulus". Syukur lulus dengan prestasi terbaiknya. Oleh karenanya segala daya dan upaya dikeluarkan semua untuk melewati perjuangan lolos dari satuan tingkat pendidikan tertentu. Permasalahannya memang tidak semudah itu untuk dapat menerima kata "LULUS" tersebut. Berdasarkan POS UN 2012 yang diterbitkan oleh BSNP maka kelulusan peserta didik dapat diukur berdasarkan standar kelulusan dari satuan pendidikan atau sekolah atas dasar rapat Dewan Guru dengan menggunakan beberapa kriteria sebagai berikut :
1. Menyelesaikan seluruh program pembelajaran
2. Memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan;
3. Lulus ujian sekolah/madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; dan
4. Lulus Ujian Nasional
Standar kelulusan untuk saat ini memang berbeda dari beberapa tahun sebelumnya. Perlu diingat bahwa nilai Ujian Nasional bukan satu-satunya penentu kelulusan, banyak faktor lain yang perlu dipahami untuk dapat mencapai standar kelulusan dari satuan pendidikan tertentu. Untuk standar kelulusan ujian nasional.pada dasarnya merujuk pada NA (Nilai akhir) yang merupakan gabungan Nilai S/M (sekolah/madrasah) dari mata pelajaran yang diujinasionalkan dengan Nilai UN, dengan pembobotan 40% untuk Nilai S/M dari mata pelajaran yang diujinasionalkan dan 60% untuk Nilai UN.
Pembelajaran diskriminatif
Adanya pola pembatasan aspek yang dievaluasi melalui kegiatan Ujian Nasional, yang hanya mengukur prestasi pada mata pelajaran tertentu yang di UN-kan, maka tak heran dampaknya adalah proses pembelajaran yang terjadi di sekolah-sekolah menjadi tidak seimbang. Sekolah hanya fokus pada pengembangan ranah kognitif belaka. Setiap saat peserta didik di drill untuk mampu menyelesaikan tugas tertentu dengan harapan dapat memperlancar persiapan peserta didik menghadapi UN. Sekolah hanya mengejar angka-angka besar untuk nilai-nilai sebuah mata pelajaran tertentu. Sementara aspek lain berupa sikap (budi pekerti luhur, sopan santun, berakhlak mulia, mandiri, kreatif, demokratis dan bertanggung jawab) seolah-olah terlupakan.
Boleh dikatakan bahwa UN yang ada telah mengkotak-kotakan mata pelajaran yang satu dengan mata pelajaran yang lain. Mata pelajaran yang di UN-kan dirasa lebih memiliki nilai yang plus dibanding dengan mata pelajaran yang non UN. Sehingga apa yang terjadi adalah proses pembelajaran yang diskriminatif, yaitu pembelajaran yang cenderung lebih menekankan kepada mata pelajaran-mata pelajaran yang di UN-kan. Argumen ini bukan tak mendasar, dalam kondisi nyata memang telah terkesan demikian.
Sungguh ironis. Apalagi jika kita menengok fungsi dan tujuan pendidikan sebagaimana tercantum UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dimana pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Sudah selayaknya apa yang terjadi ini menjadi sebuah pekerjaan rumah bagi kita semua, yaitu minimal mencoba mengingatkan kembali, terlebih dapat memberikan masukan yang sangat berarti bagi mereka-mereka para pengambil kebijakan tingkat atas tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional sebagaimana tertera dalam paragraf di atas.
Jika demikian mungkin kita perlu mendalami apa yang ditulis oleh Prof. Husaini Usman. Dalam sebuah buku karangannya beliau menuliskan bahwa keberhasilan lulusan bukanlah ditentukan oleh hebatnya pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki lulusan, tetapi lebih ditentukan oleh sikap yang dimilikinya. Banyak orang pandai tetapi sombong. Banyak tukang terampil, tetapi curang. Banyak orang pintar dan terampil, tetapi tidak jujur. Banyak orang cerdas tetapi culas. Oleh sebab itu yang utama dalam mendidik adalah mendidik hatinya karena hatinya pendidikan adalah pendidikan hati. Karena itu WR Supratman sebelum tahun 1945 telah mengingatkan para pendidik dengan membuat lagu Indonesia Raya yang syairnya antara lain berbunyi, "bangunlah jiwanya, bangunlah badannya". Maknanya adalah yang dididik itu jiwanya dulu baru otak dan ketrampilannya.
Terimakasih dan salam ..
Disamping itu, kegiatan ujian praktik untuk beberapa mata pelajaran yaitu pendidikan agama dan pendidikan jasmani, olahraga/kesehatan masih mewarnai beberapa tahapan sebelum menempuh Ujian Nasional. Sebagai gongnya, boleh dikatakan Ujian Nasional ini menjadi satu-satunya momok bagi peserta didik. Walaupun saat ini UN tidak 100% menjadi faktor penentu kelulusan bagi peserta didik, namun harus diakui bahwa sejarah buruk telah tercipta di negeri ini dengan pelaksanaan UN tersebut. Banyak peserta didik yang tidak sadarkan diri, jiwanya menjadi labil akibat ketidaklulusan dalam mata pelajaran yang di UN-kan.
Munculnya Tradisi Baru
Ujian Nasional tidak hanya membawa dampak yang kurang baik terhadap peserta didik, pihak sekolah pun secara langsung terkena imbasnya. Rasa ketakutan yang begitu berlebihan dari pihak sekolah sehingga memunculkan tradisi-tradisi baru di sekolah menjelang pelaksanaan Ujian Nasional. Bagaimana persiapan khusus dilakukan oleh sekolah, salah satunya adalah latihan-latihan soal atau try out yang telah dirancang khusus untuk mengkondisikan para peserta didik agar merasa lebih mantap dalam menghadapi ujian tersebut.
Try out jikalau boleh saya katakan sudah menjadi semacam tradisi. Hampir seluruh sekolah mempersiapkan kegiatan ini semata-mata untuk menghadapi Ujian Nasional. Pada umumnya pelaksanaan try out dirancang setelah kegiatan pembelajaran rutin usai, penyelenggaraannya dapat di atur dengan model pendekatan menyerupai pelaksanaan Ujian Nasional. Tujuan kegiatan try out ini adalah sebagai sarana untuk melatih kesiapan mental peserta didik dan sekaligus untuk mengetahui perkembangan penguasaan materi peserta didik.
Sekalipun nilai Ujian Nasional bukan satu-satunya faktor kelulusan namun bukan rahasia lagi bahwa dengan kegiatan Ujian Nasional ini kredibelitas sekolah akan dipertaruhkan. Oleh karenanya segala usaha yang terkait dengan pelaksanaan Ujian Nasional betul-betul dipersiapkan secara matang. Pada tahapan selanjutnya tradisi yang selalu dijalankan dalam rangka pelaksanaan Ujian Nasional adalah adanya program pembahasan atau membedah soal-soal Ujian Nasional. Kegiatan ini lebih fokus kepada aspek teknis untuk menyelesaikan soal sehingga peserta didik lebih memahami dan mendalami berbagai jenis soal.
Tradisi terakhir menjelang pelaksanaan Ujian Nasional adalah pelaksanaan mujahadah. Entah siapa yang pertama memulai, namun mujahadah sudah menjadi tren dan cara yang baik untuk menyiapkan mental peserta didik. Terlepas dari pro dan kontra tentang pelaksanaan mujahadah menjelang Ujian Nasional kita harus mengakui bahwa peserta didik tidak hanya kita persiapkan secara akademis saja namun aspek spiritual juga tidak boleh ketinggalan. Meminjam istilah asing yaitu spiritual building harus tetap ditekankan karena pada saat pelaksanaan Ujian Nasional betul-betul dibutuhkan mental yang baik bagi peserta didik.
Itulah hebatnya Ujian Nasional, yang ternyata telah mampu menciptakan tradisi-tradisi baru di sekolah. Sejauh tradisi yang dijalankan itu baik, maka kita tidak perlu ragu untuk tetap menjaga dan menggalakkan, namun jikalau upaya kecurangan yang dijadikan senjata utama untuk dalam melampaui Ujian Nasional rasanya pendidikan kita memang telah dianggap tidak punya harga dan tak bermakna apa-apa.Ujian Nasional hanya dianggap sebagai tembok dan setiap peserta berlomba-lomba untuk melampauinya dengan segala macam cara, apapun itu resikonya. Pokoknya lulus. Itulah hal yang sangat mengkhawatirkan kita semua.
Kriteria Kululusan
Setiap peserta didik sudah barang tentu ingin mengakhiri masa pendidikannya di lembaga formal dengan embel-embel "lulus". Syukur lulus dengan prestasi terbaiknya. Oleh karenanya segala daya dan upaya dikeluarkan semua untuk melewati perjuangan lolos dari satuan tingkat pendidikan tertentu. Permasalahannya memang tidak semudah itu untuk dapat menerima kata "LULUS" tersebut. Berdasarkan POS UN 2012 yang diterbitkan oleh BSNP maka kelulusan peserta didik dapat diukur berdasarkan standar kelulusan dari satuan pendidikan atau sekolah atas dasar rapat Dewan Guru dengan menggunakan beberapa kriteria sebagai berikut :
1. Menyelesaikan seluruh program pembelajaran
2. Memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan;
3. Lulus ujian sekolah/madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; dan
4. Lulus Ujian Nasional
Standar kelulusan untuk saat ini memang berbeda dari beberapa tahun sebelumnya. Perlu diingat bahwa nilai Ujian Nasional bukan satu-satunya penentu kelulusan, banyak faktor lain yang perlu dipahami untuk dapat mencapai standar kelulusan dari satuan pendidikan tertentu. Untuk standar kelulusan ujian nasional.pada dasarnya merujuk pada NA (Nilai akhir) yang merupakan gabungan Nilai S/M (sekolah/madrasah) dari mata pelajaran yang diujinasionalkan dengan Nilai UN, dengan pembobotan 40% untuk Nilai S/M dari mata pelajaran yang diujinasionalkan dan 60% untuk Nilai UN.
Pembelajaran diskriminatif
Adanya pola pembatasan aspek yang dievaluasi melalui kegiatan Ujian Nasional, yang hanya mengukur prestasi pada mata pelajaran tertentu yang di UN-kan, maka tak heran dampaknya adalah proses pembelajaran yang terjadi di sekolah-sekolah menjadi tidak seimbang. Sekolah hanya fokus pada pengembangan ranah kognitif belaka. Setiap saat peserta didik di drill untuk mampu menyelesaikan tugas tertentu dengan harapan dapat memperlancar persiapan peserta didik menghadapi UN. Sekolah hanya mengejar angka-angka besar untuk nilai-nilai sebuah mata pelajaran tertentu. Sementara aspek lain berupa sikap (budi pekerti luhur, sopan santun, berakhlak mulia, mandiri, kreatif, demokratis dan bertanggung jawab) seolah-olah terlupakan.
Boleh dikatakan bahwa UN yang ada telah mengkotak-kotakan mata pelajaran yang satu dengan mata pelajaran yang lain. Mata pelajaran yang di UN-kan dirasa lebih memiliki nilai yang plus dibanding dengan mata pelajaran yang non UN. Sehingga apa yang terjadi adalah proses pembelajaran yang diskriminatif, yaitu pembelajaran yang cenderung lebih menekankan kepada mata pelajaran-mata pelajaran yang di UN-kan. Argumen ini bukan tak mendasar, dalam kondisi nyata memang telah terkesan demikian.
Sungguh ironis. Apalagi jika kita menengok fungsi dan tujuan pendidikan sebagaimana tercantum UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dimana pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Sudah selayaknya apa yang terjadi ini menjadi sebuah pekerjaan rumah bagi kita semua, yaitu minimal mencoba mengingatkan kembali, terlebih dapat memberikan masukan yang sangat berarti bagi mereka-mereka para pengambil kebijakan tingkat atas tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional sebagaimana tertera dalam paragraf di atas.
Jika demikian mungkin kita perlu mendalami apa yang ditulis oleh Prof. Husaini Usman. Dalam sebuah buku karangannya beliau menuliskan bahwa keberhasilan lulusan bukanlah ditentukan oleh hebatnya pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki lulusan, tetapi lebih ditentukan oleh sikap yang dimilikinya. Banyak orang pandai tetapi sombong. Banyak tukang terampil, tetapi curang. Banyak orang pintar dan terampil, tetapi tidak jujur. Banyak orang cerdas tetapi culas. Oleh sebab itu yang utama dalam mendidik adalah mendidik hatinya karena hatinya pendidikan adalah pendidikan hati. Karena itu WR Supratman sebelum tahun 1945 telah mengingatkan para pendidik dengan membuat lagu Indonesia Raya yang syairnya antara lain berbunyi, "bangunlah jiwanya, bangunlah badannya". Maknanya adalah yang dididik itu jiwanya dulu baru otak dan ketrampilannya.
Terimakasih dan salam ..