Selasa, 03 Juni 2025

Alun-alun Kebumen: Ruang Publik Kita

Di tengah bisingnya kota, di sela kesibukan dan rutinitas yang sering terasa seperti drama tanpa akhir, masih ada ruang yang membuat kita merasa hidup: Alun-Alun Kebumen.

Bukan sekadar tanah lapang atau tempat mangkal pedagang kaki lima. Alun-alun ini adalah jantung kota yang berdetak untuk warganya. Di sinilah anak-anak bebas berlarian seperti angin kecil yang nakal, orang tua berjalan perlahan seperti waktu yang sedang bermeditasi, dan remaja berswafoto untuk feed Instagram mereka yang haus pujian. Semuanya berpadu tanpa pretensi.

Kapan Mendoan

 Menurut data dari Jawa Pos tahun 2024, Alun-Alun Kebumen kini menjadi salah satu ruang publik terbaik di wilayah selatan Jawa Tengah. Pemerintah mencanangkan konsep “Kebumen Ramah Warga” dengan menekankan pentingnya ruang bersama. Dan memang terasa: alun-alun kini bukan sekadar titik koordinat, tapi tempat pulang bagi kebersamaan.

Di antara pohon-pohon yang setia menjadi payung alami dan udara segar yang lebih jujur daripada politikus, berdiri ikon unik bernama Kapal Mendoan. Jangan bayangkan kapal betulan. Ini adalah akronim cerdas dari “Mangan Enak Karo Dolan”, tempat berlabuhnya segala macam kuliner lokal yang menggoyang lidah dan menyentuh kenangan.

Joging Track Alun-alun Kebumen

 Ada Sate Ambal yang legendaris—dengan saus tempe yang khas. “Makanan lokal adalah identitas, bukan sekadar isi piring,” kata Dr. Wulan Saraswati, pakar kuliner dari UGM. Lalu ada Nasi Penggel, bulat-bulat mungil yang penuh filosofi: kecil, sederhana, tapi mengenyangkan dan bermakna.

Tapi tak semua kisah manis. Sebagian pengunjung masih menganggap alun-alun sebagai tempat uji coba ego: buang sampah sembarangan, parkir seenaknya, bahkan corat-coret fasilitas umum. Seolah ruang publik adalah milik pribadi yang bebas diperlakukan semaunya. Miris, tapi nyata.

Dalam sebuah wawancara legendaris, Bung Hatta pernah bilang, “Kebudayaan suatu bangsa tercermin dari bagaimana ia memperlakukan ruang bersama.” Dan sejujurnya, kita masih punya banyak PR.

Setiap akhir pekan, alun-alun penuh warna. Ada yang jogging, ada yang duduk santai, ada pula yang sekadar ngonten. Tak apa, setidaknya mereka keluar rumah. Di zaman ketika lebih kenal YouTuber daripada tetangga sendiri, itu sudah langkah maju.

Ada juga Car Free Day dan Car Free Night—dua momen spesial di mana motor dilarang, dan kreativitas diluapkan. Musik lokal, tari-tarian, dan stand komunitas menyulap alun-alun jadi panggung rakyat. Di sinilah Kebumen menunjukkan bahwa peradaban tak harus mahal, cukup dijalani dengan semangat gotong royong.

Namun jangan lupa, menjaga ruang publik bukan soal sekali cat, sekali peresmian, atau sekali unggah di medsos. Ia butuh kesetiaan, seperti merawat taman: disiram, dirawat, dan dihormati.

Karena sejatinya, alun-alun adalah diary kota. Setiap langkah kaki adalah kata, setiap tawa adalah tanda baca. Kita semua sedang menulis sejarah kota ini, sadar atau tidak.

Edukasi soal ruang publik tak bisa hanya menyasar anak-anak. Orang dewasa justru lebih butuh disadarkan. Kita harus paham: ruang publik bukan warisan untuk dibanggakan, tapi titipan untuk dijaga.

Jane Jacobs, aktivis urban legendaris, pernah berkata, “Ruang publik adalah wajah kota. Bila ia kotor dan rusak, maka rusaklah wajah peradaban.” Dan kita tentu tak ingin wajah Kebumen tercoreng karena ketidakpedulian kolektif.

Mari jaga Alun-Alun Kebumen. Bukan karena disuruh, tapi karena kita sendiri yang membutuhkannya. Di sinilah tempat kita untuk tetap waras, tertawa, dan merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar: sebuah kota yang bernyawa.

Tidak ada komentar:

Alun-alun Kebumen: Ruang Publik Kita

Di tengah bisingnya kota, di sela kesibukan dan rutinitas yang sering terasa seperti drama tanpa akhir, masih ada ruang yang membuat kita ...