Sabtu, 05 November 2011

Manusia dan Ketergantungan pada Alam

Sebagai makhluk hidup kita semua jelas sangat tergantung oleh alam sekitar. Kebutuhan-kebutuhan kita juga sangat ditentukan oleh kondisi alam kita. Contoh nyata adalah saat musim kemarau, areal persawahan di wilayah yang selalu saya lewati tiap berangkat dan pulang dari aktivitas rutin di sebuah sekolah yang ada di pesisir selatan, kira-kira 1,5 kilometer dari pantai Ambal, Kebumen, kondisinya sangat mengering. Persawahan banyak dibiarkan tak terurus, tidak ditanami apa-apa, tidak banyak dari pemilik sawah yang memanfaatkannya dengan menanam kacang hijau. Itupun hasilnya kurang menggembirakan.

Beberapa masyarakat justru mengalihfungsikan sawah yang ia miliki menjadi tempat produksi bata. Hal ini karena kondisi areal persawahan yang masih menggantungkan air tadah hujan, sehingga sawah yang kurang produktif akhirnya banyak dimanfaatkan untuk kegiatan produksi bata. Pengolahan tanah, pencetakan dan pengeringan bata di lakukan di tempat itu pula. Bahkan ada diantaranya  ada  yang memanfaatkan bagian pinggir-pinggir jalan raya untuk proses produksi bata, dan tentunya hal ini sedikit mengganggu pengguna jalan raya. Ini adalah bukti bahwa manusia selalu berusaha menyesuaikan diri dengan kondisi alam yang ada, walau terkadang ada yang melakukan aktivitasnya melanggar ketentuan yang ada.
Produksi bata dilakukan dipinggir jalan raya
Ada hal lain yang menarik perhatian saya. Apakah ini merupakan kegiatan eksploitasi atau bukan, yang jelas kegiatan ini juga dilakukan di sebagian besar  wilayah Kebumen, khususnya wilayah selatan. Tiap hari aktivitas yang dimulai dari proses penggalian tanah, pengambilan, pengolahan dan kemudian dibawa menggunakan truk-truk pengangkut menuju pabrik-pabrik genteng dan bata yang tersebar di sentra genteng/bata semisal daerah Muktisari, Sruweng dan Soka dan Klirong. Biasanya tanah liat diambil dari sawah tanah milik seseorang yang telah disewa atau dikontrak untuk dimanfaatkan, digali dan diambil tanahnya.

Musim kemarau adalah saat yang paling tepat bagi para pengusaha genteng dan bata, minimnya air hujan yang turun maka secara teknis dapat memperlancar proses pengeringan produk-produk yang  masih bergantung kepada sinar matahari. Dalam musim kemarau ini juga dijadikan momen yang tepat untuk mengumpulkan tanah liat sebanyak-banyaknya guna menghadapi datangnya musim penghujan. Saat musim penghujan datang mencari bahan baku tanah liat sangatlah sulit, mengingat sawah-sawah lebih menguntungkan diolah dan ditanami padi. Hal inilah yang dijadikan alasan untuk melakukan kegiatan pengambilan bahan baku tanah liat secara berlebihan saat musim kemarau. Ini adalah bukti yang jelas tentang ketergantungan kita terhadap alam, kalau tak boleh dibilang ini bukan sekedar ketergantungan tetapi ketergantungan tingkat tinggi.

Saat ini musim hujan sudah mulai datang. Beberapa diantara mereka yang melakukan produksi bata di sawah-sawah mulai alih profesi lagi. Kembali ke habitat, siap mengolah lahan sawahnya lagi dengan tanaman pokok mereka. Status sebagai "penjual tanah air" (istilah lelucon yang diberikan kepada mereka yang memproduksi bata, karena bahan baku berasal dari tanah dan air) dilepaskannya dan kembali menjadi penggarap sawah yang sesungguhnya. Kembali bersahabat dengan alam, dengan traktor atau cangkul sarana utama mereka. *)

*) sebuah catatan dari rutinitas perjalanan 

2 komentar:

Andy mengatakan...

asal kita memanfaatkan alam beserta isinya ini dengan bijak saja mas,supaya alam tidak marah dengan kita
ibaratnya saling menguntungkan lah

Rasimun Way mengatakan...

@andy : nah itu masalahnya mas, nyata banyal manusia yg sangat over mendayagunakan alam sehingga merusak lingkungan sekitar

Panorama Pantai Menganti

Dalam sebuah kesempatan saya menemani dua orang tamu dari Malang, dalam rangka melakukan pendampingan sebuah program di sekolah. Usai kegiat...