Anggota komisi X Dewan Perwakilan Rakyat, Dedy Gumelar menyatakan sudah seharusnya Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional dievaluasi. Hal ini karena RSBI baginya cenderung hanya pelabelan saja, akan tetapi kualitasnya hampir sama dengan sekolah umum lainnya.
"Ada kencederungan dengan kata international itu malah menjadi marketing label, maksudnya dengan kata ini bisa menarik dana besar dari masyarakat atau orangtua," ungkap Dedy Gumilar kepada Republika di Jakarta, Senin (14/3).
Menurut anggota dewan dari Partai PDI Perjuangan ini, berdasarkan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003, tiap kabupaten semestinya memiliki satu sekolah bertaraf dunia, dan tidak ada pelabelan yang harus dikenakan pada sekolah tersebut. Kemudian menurutnya kurikulum nasional dan tambahan plus juga sebenarnya tak perlu. "Kita lihat sekolah swasta seperti Kanisius yang menggunakan kurikulum nasional tetapi hasilnya Internasional," ujarnya mencontohkan.
Atas dasar ini, menurutnya perlu ada pembenahan yang lebih lanjut khususnya dalam hal kurikulum dan mutu belajar mengajar. Ia bahkan berharap Sekolah tak hanya mempercantik diri dengan fasilitas akan tetapi lebih mendorong ke mutu belajar siswa. Hal ini agar siswa yang dihasilkan sebagai output sekolah bermutu tingkat dunia. "Yang saya kecewa, sepertinya Pemerintah membiarkan sekolah-sekolah RSBI berjalan sendiri," ucapnya.
Oleh karena itu, ia menyampaikan perlu adanya kemauan politik dalam membereskan RSBI dan SBI yang sering membebani masyarakat dengan biaya besar itu. "Sebenarnya tak perlu waktu lama untuk menerbitkan Peraturan Menteri itu," ucapnya.
Akan tetapi ia mengapresiasi langkah Pemerintah untuk menangguhkan pengajuan izin baru penyelenggaraan RSBI. Akan tetapi ia menyatakan akan menagih janji Kemendiknas untuk menutup RSBI yang tidak memenuhi persyaratan.
Mengenai penyalahgunaan dana, Dedi berpendapat itu terjadi karena tidak ada pengawasan dan sikap tegas dari Kemendiknas. Dirinya pun mempertanyakan ada apa dengan Kemendiknas sehingga membiarkan sekian lama praktek tersebut terjadi hingga masalah di RSBI diberitakan di media nasional. "Perintah UU memang mengamanatkan demikian namun kalau tidak diawasi namanya menyalahgunakan UU dong," pungkasnya.
"Ada kencederungan dengan kata international itu malah menjadi marketing label, maksudnya dengan kata ini bisa menarik dana besar dari masyarakat atau orangtua," ungkap Dedy Gumilar kepada Republika di Jakarta, Senin (14/3).
Menurut anggota dewan dari Partai PDI Perjuangan ini, berdasarkan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003, tiap kabupaten semestinya memiliki satu sekolah bertaraf dunia, dan tidak ada pelabelan yang harus dikenakan pada sekolah tersebut. Kemudian menurutnya kurikulum nasional dan tambahan plus juga sebenarnya tak perlu. "Kita lihat sekolah swasta seperti Kanisius yang menggunakan kurikulum nasional tetapi hasilnya Internasional," ujarnya mencontohkan.
Atas dasar ini, menurutnya perlu ada pembenahan yang lebih lanjut khususnya dalam hal kurikulum dan mutu belajar mengajar. Ia bahkan berharap Sekolah tak hanya mempercantik diri dengan fasilitas akan tetapi lebih mendorong ke mutu belajar siswa. Hal ini agar siswa yang dihasilkan sebagai output sekolah bermutu tingkat dunia. "Yang saya kecewa, sepertinya Pemerintah membiarkan sekolah-sekolah RSBI berjalan sendiri," ucapnya.
Oleh karena itu, ia menyampaikan perlu adanya kemauan politik dalam membereskan RSBI dan SBI yang sering membebani masyarakat dengan biaya besar itu. "Sebenarnya tak perlu waktu lama untuk menerbitkan Peraturan Menteri itu," ucapnya.
Akan tetapi ia mengapresiasi langkah Pemerintah untuk menangguhkan pengajuan izin baru penyelenggaraan RSBI. Akan tetapi ia menyatakan akan menagih janji Kemendiknas untuk menutup RSBI yang tidak memenuhi persyaratan.
Mengenai penyalahgunaan dana, Dedi berpendapat itu terjadi karena tidak ada pengawasan dan sikap tegas dari Kemendiknas. Dirinya pun mempertanyakan ada apa dengan Kemendiknas sehingga membiarkan sekian lama praktek tersebut terjadi hingga masalah di RSBI diberitakan di media nasional. "Perintah UU memang mengamanatkan demikian namun kalau tidak diawasi namanya menyalahgunakan UU dong," pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar