- Minim Penanaman Nilai bagi Anak
Penanaman berbagai nilai positif bagi anak dan remaja belakangan ini sangat minim, karena kurikulum pendidikan nasional terlalu padat.
Anak-anak dijejali kurikulum laksana robot, diberi banyak tugas, akhirnya menjadi phobia terhadap sekolah dengan berbagai macam alasan dan tidak ada kesempatan bagi orang tua atau pendidik untuk menanamkan nilai-nilai positif.
Demikian salah satu kesimpulan seminar nasional psikologi bertema “Peran Pendidik, Psikolog, Orang Tua dalam Penanaman Nilai-Nilai bagi Anak dan Remaja” yang diadakan oleh Fakultas Psikologi Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang di aula kampus Jl Raya Kaligawe Km 4, naru-baru ini.
Acara yang dimoderatori Dr Rahmat Bowo Suharto dan dibuka Dekan FPsi Unissula Dr Amir Asyikin Hasibuan MPsi itu menghadirkan pula pembicara Guru Besar IKIP PGRI Semarang, Prof Dr Abu Su’ud.
Ketua Dewan Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak, Dr Seto Mulyadi mengatakan, banyak orang tua salah menafsirkan. Seorang anak disebut cerdas jika pintar matematika daripada menggambar, menari, atau menulis.
Bakat anak yang beragam justru harus dihargai, karena tiap anak ada keunikan masing-masing. Dia mencontohkan, orang-orang ternama seperti Albert Einstein, Mozart, Maradona, dan Pablo Picasso, mempunyai talenta di jalur bakatnya masing-masing.
“Parahnya, pada era globalisasi ini komunikasi antara orang tua dan anak semakin dangkal. Selain akibat gempuran budaya visual, kenyataan ini diperparah oleh kecenderungan pengalihan tanggung jawab pengasuhan anak kepada lembaga pendidikan formal. Akibatnya, anak tidak terbiasa berdialog dan kehilangan kreativitas,” kata mantan Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak itu.
Berbasis Ramah Anak
Tak heran, kata Seto, jika belakangan ini banyak anak yang mengalami problem kejiwaan, yang kentara cenderung menggunakan kekerasan dalam kehidupan sehari-hari. Seiring hal itu, aktivitas mendongeng perlu dibangkitkan kembali sebagai jembatan komunikasi yang akrab dan ajang sosialisasi nilai-nilai moral dalam keluarga.
“Komunikasi orang tua dan anak harus mengutamakan dialog dengan mendengarkan pendapat anak. Pokoknya, jangan memberi ceramah panjang lebar,” ujarnya.
Dia mengatakan, kurikulum pendidikan nasional harus mengacu pada kompetensi dan standar kelulusan yang berbasis ramah anak. Formula ini merangsang kecerdasan anak, yaitu kecerdasan angka, kata, gambar, musik, tubuh, teman, diri, dan kecerdasan alam.
Pendiri dan Ketua Yayasan Nakula Sadewa ini mewanti-wanti agar para orang tua dan guru mengapresiasi sikap anak, karena semua anak pada dasarnya cerdas.
Sikap kritis Seto diselingi guyonan segar divisualisasi melalui tayangan gambar dan bernyanyi. Ribuan peserta seminar yang sebagian besar para guru perempuan di berbagai sekolah di sekitar Jawa Tengah, pun memberi aplaus luar biasa.
Sementara Prof Abu Su’ud menekankan, mendidik anak di rumah ataupun sekolah harus tulus, lembut, dan persuasif demi memunculkan karakter anak.
“Hakikat pendidikan yakni proses membantu generasi muda mencapai kedewasaan dan bertanggung jawab dalam berbagai hal. Selain sebagai proses transmisi budaya, tranformasi, dan pengembangan diri,” tuturnya.
Anak-anak dijejali kurikulum laksana robot, diberi banyak tugas, akhirnya menjadi phobia terhadap sekolah dengan berbagai macam alasan dan tidak ada kesempatan bagi orang tua atau pendidik untuk menanamkan nilai-nilai positif.
Demikian salah satu kesimpulan seminar nasional psikologi bertema “Peran Pendidik, Psikolog, Orang Tua dalam Penanaman Nilai-Nilai bagi Anak dan Remaja” yang diadakan oleh Fakultas Psikologi Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang di aula kampus Jl Raya Kaligawe Km 4, naru-baru ini.
Acara yang dimoderatori Dr Rahmat Bowo Suharto dan dibuka Dekan FPsi Unissula Dr Amir Asyikin Hasibuan MPsi itu menghadirkan pula pembicara Guru Besar IKIP PGRI Semarang, Prof Dr Abu Su’ud.
Ketua Dewan Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak, Dr Seto Mulyadi mengatakan, banyak orang tua salah menafsirkan. Seorang anak disebut cerdas jika pintar matematika daripada menggambar, menari, atau menulis.
Bakat anak yang beragam justru harus dihargai, karena tiap anak ada keunikan masing-masing. Dia mencontohkan, orang-orang ternama seperti Albert Einstein, Mozart, Maradona, dan Pablo Picasso, mempunyai talenta di jalur bakatnya masing-masing.
“Parahnya, pada era globalisasi ini komunikasi antara orang tua dan anak semakin dangkal. Selain akibat gempuran budaya visual, kenyataan ini diperparah oleh kecenderungan pengalihan tanggung jawab pengasuhan anak kepada lembaga pendidikan formal. Akibatnya, anak tidak terbiasa berdialog dan kehilangan kreativitas,” kata mantan Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak itu.
Berbasis Ramah Anak
Tak heran, kata Seto, jika belakangan ini banyak anak yang mengalami problem kejiwaan, yang kentara cenderung menggunakan kekerasan dalam kehidupan sehari-hari. Seiring hal itu, aktivitas mendongeng perlu dibangkitkan kembali sebagai jembatan komunikasi yang akrab dan ajang sosialisasi nilai-nilai moral dalam keluarga.
“Komunikasi orang tua dan anak harus mengutamakan dialog dengan mendengarkan pendapat anak. Pokoknya, jangan memberi ceramah panjang lebar,” ujarnya.
Dia mengatakan, kurikulum pendidikan nasional harus mengacu pada kompetensi dan standar kelulusan yang berbasis ramah anak. Formula ini merangsang kecerdasan anak, yaitu kecerdasan angka, kata, gambar, musik, tubuh, teman, diri, dan kecerdasan alam.
Pendiri dan Ketua Yayasan Nakula Sadewa ini mewanti-wanti agar para orang tua dan guru mengapresiasi sikap anak, karena semua anak pada dasarnya cerdas.
Sikap kritis Seto diselingi guyonan segar divisualisasi melalui tayangan gambar dan bernyanyi. Ribuan peserta seminar yang sebagian besar para guru perempuan di berbagai sekolah di sekitar Jawa Tengah, pun memberi aplaus luar biasa.
Sementara Prof Abu Su’ud menekankan, mendidik anak di rumah ataupun sekolah harus tulus, lembut, dan persuasif demi memunculkan karakter anak.
“Hakikat pendidikan yakni proses membantu generasi muda mencapai kedewasaan dan bertanggung jawab dalam berbagai hal. Selain sebagai proses transmisi budaya, tranformasi, dan pengembangan diri,” tuturnya.
source : suaramerdeka.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar