Senin, 13 Juni 2011

Pendidikan Karakter Butuh Keteladanan

Siapakah tidak mengelus dada melihat kekarutmarutan yang terjadi di negeri ini? Kita seperti telah kehilangan rasa saling menghormati, menghargai, dan mencintai. Hampir setiap hari berseliweran berita aksi kekerasan masif di ruang publik: mutilasi, pembunuhan terencana, korupsi, pembunuhan karakter, saling fitnah, mafia hukum-peradilan, saling hujat, dan aneka ulah barbar lainnya. Ketika masyarakat seperti makin permisif, negara seolah-olah tak berdaya, membiarkan api membara membakar semua.

Menyadari kondisi terpuruk itu, banyak pihak menyakini pendidikan karakter menjadi resep kebangkitan bangsa, tidak terkecuali Menteri Pendidikan Nasional yang tahun ini mengusung tema ”Raih Prestasi Junjung Tinggi Budi Pekerti”. Pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia, agar anak manusia itu tumbuh dan berkembang menjadi manusia seutuhnya. Namun belakangan, pendidikan justru kering dari nilai-nilai spiritualitas, bahkan mengarah ke dehumanisasi, keterkikisan nilai-nilai kemanusian.

Revitalisasi tentu bukan pekerjaan mudah, mengingat pendidikan kita telah terjebak terlalu dalam ke muatan intelektualisme. Seolah-olah dianggap selesai ketika anak-anak kita membawa pulang ijazah. Kita lupa amanah konstitusi bahwa pendidikan bukan hanya membentuk insan yang cerdas secara intelektual, melainkan cerdas secara emosional, berkepribadian, atau berkarakter nilai-nilai luhur dan agama. Pendidikan untuk membentuk pribadi anak secara utuh dalam pengetahuan, perasaan, dan tindakan.

Keberhasilan seseorang 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen kecerdasan otak (IQ). Kesuksesan tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis, tetapi pada pengelolaan diri dan orang lain. Secara holistik, cerdas dalam ilmu pengetahuan sekaligus cinta Tuhan, mandiri dan bertanggung jawab, amanah, hormat dan santun, suka menolong dan berkerja sama, percaya diri dan pekerja keras, berjiwa kepemimpinan dan keadilan, baik dan rendah hati, serta toleran.

Wacana pendidikan karakter relevan dengan 36 nilai dalam Pedoman, Penghayatan, dan Pengalaman Pancasila (P4) sebagai dasar bersikap dan berperilaku. Ketika hendak menyakiti sesamanya ingat prinsip ketuhanan yang tidak mengajarkan kekerasan. Ketika hendak curang ingat nilai-nilai kemanusiaan. Ketika terjangkiti primordialisme ingat nilai-nilai kesatuan. Ketika ingin menang-menangan, ingat nilai-nilai dasar demokrasi. Pun ketika hendak menilap uang negara, ingat prinsip keadilan.

Dehumanisasi menjadi tantangan serius pendidikan karakter. Para pengambil kebijakan harus memahami benar hakikat: bukan sekadar menguasai teknis, apalagi tukang. Masyarakat, orang tua, dan guru berkarakter merupakan kunci utama dengan teladan sikap dan perilaku. Kesungguhan elite penguasa juga diuji, jangan obor blarak, agar pendidikan kita tidak terpuruk terlalu dalam. Dibutuhkan tindakan nyata, bukan wacana dan pencitraan, jika ingin melihat anak-anak kita hebat dan sukses di masa datang. 
 
source : suaramerdeka.com

Tidak ada komentar:

Panorama Pantai Menganti

Dalam sebuah kesempatan saya menemani dua orang tamu dari Malang, dalam rangka melakukan pendampingan sebuah program di sekolah. Usai kegiat...