Bekerja sebagai intelektual atau ilmuwan di luar negeri sering dinilai sebagai sebuah kebanggaan dan lebih menjanjikan, ketimbang berkarir di tanah air. Tapi kenapa nara sumber Kick Andy yang berikut ini lebih memilih pulang kampung disaat mereka berjaya di negeri orang? “Tantangan di sini lebih nyata bagi saya,” ujar Warsito Purwo Taruno, doktor ahli tomografi yang sempat menjadi peneliti papan atas di Ohio University, Amerika Serikat.
Warsito, lahir dari keluarga sederhana. Sejak kecil ia harus membantu ayahnya di sawah. Karena keterbatasan biaya, Warsito gagal berkuliah di jurusan kimia, UGM. Ia kemudian mendaftar beasiswa ke Jepang dan dan lulus. Di Universitas Shizuoka, Jepang, ia menyelesaikan pendidikannya sampai meraih gelar doctor. Setelah lulus, ia kemudian menjadi ahli tomografi di Jepang. Warsito kemudian sempat pindah ke Amerika Serikat dan menjadi salah satu peneliti papan atas di Ohio University.
Dalam citra dan kesuksesan itu, rasa nasionalisme Warsito kembali tergugah. Anak dari lereng Gunung Lawu, Jawa Tengah itu akhirnya memutuskan pulang kembali ke tanah air di tahun 2006. Ia meninggalkan laboratorium besar di Amerika dan memilih mengembangkan Ctech labs Edwar Technolgy, sebuah laboratorium yang mengisi sebuah ruko di kawasan Tangerang, Banten.
Begitu juga hal nya dengan Udaya Halim. Seorang pejuang kehidupan dan pendidikan asal Tangerang, Banten.
Masa kecil udaya halim adalah sebuah perjuangan. Udaya hanya seorang anak yang hanya bersekolah sampai SMP setelah itu, anak ke 4 dari 8 bersausara itu harus menjadi pelayan toko di Pasar Baru.
Meski putus sekolah, udaya tak memupus harapannya untuk belajar, terutama belajar bahasa inggris. Dengan memilah-milah uang sakunya, ia bisa memenuhi keinginannya untuk membayar kursus bahasa inggris.
Dengan perjuangan yang tak mudah, akhirnya udaya bisa berangkat dan belajar bahasa inggris di sekolah bahasa di Bournemouth yg bernama King’s. Dengan upaya keras juga, akhirnya Udaya memiliki lembaga kursus yang diberi nama King’s English Course. Dan di tahun 1992 lembaga ini resmi menjadi perwakilan resmi King’s England. Bukan saja menjadi perwakilan di indonesia, tetapi juga menjadi business alliance, bahkan lembaga itu kini menjadi satu-satunya pemilik IBEC yang menjadi perwakilan resmi dari 25 universitas terkemukan di Inggris.
Saat kerusuhan terjadi tahun 1997, Udaya dan keluarga terpaksa hijrah ke Perth, Australia. Disana ia belajar dan membuka usaha hingga sukses.
Meski punya pengalaman buruk dengan kerusuhan tahun 1997 itu, tapi Udaya tetap menunjukkan kecintaannya pada Indonesia.
Ia kembali ke tanah air tahun 2004 lalu, kemudian mendirikan sekolah yang diberi nama Prince’s Creative School dan menjadi konsultan bagi anak-anak yang bermasalah. Ia bahkan menjual sahamnya di beberapa institusi di Perth, dimana ia menjabat sebagai direktur agar dapat lebih fokus mengembangkan sekolah ini.
Selain itu, Udaya merasa terpanggil untuk menyelamatkan bangunan bersejarah di dekat kelenteng Boen Tek Bio di kawanan cina benteng, tangerang, yang ia akan jadikan museum benteng heritage.
Sementara itu seorang pria asal Kota Apel Malang, Jawa Timur, yang memiliki karir cemerlang di kota big apel, New York, Amerika Serikat, tiba –tiba memutuskan berhenti dan pulang ke kampung halamannya.
“Waktu saya memutuskan berhenti dan kembali ke Indonesia banyak yang Tanya, are you crazy? “ ujar Iwan saat tampil di Kick Andy. Dengan tenang, Iwan menceritakan bahwa tujuannya bekerja sampai ke New York, adalah untuk mencari uang agar bisa memiliki kamar tidur sendiri. Ini adalah obsesi terbesarnya. Maklum, iwan adalah keluarga sederhana, ayahnya yang hanya sopir angkot tak cukup dana untuk bisa membuatkan kamar yang layak untuk anak-anaknya. Iwan tinggal di rumah berukuran enam kali tujuh meter, dimana ia harus berbagi tempat dengan orang tua dan empat saudari perempuannya.
Dengan susah payah dalam masalah pembiayaan, Iwan bisa lulus sekolah bahkan kuliah di IPB, Bogor. Dan dalam kurun waktu 4 tahun, kuliahnya selesai dan menjadi lulusan terbaik di tahun 1997.
Berkat upaya dan keinginan kuat untuk keluar dari kemiskinan keluarganya, ia berhasil mendapatkan pekerjaan di Amerika sebagai Senior manager operations. Selama sepuluh tahun menitih karier di negeri Paman Sam, ia akhirnya bisa menduduki jabatan bergengsi yaitu sebagai direktur internal client management data analysis and consulting nielsen consumer research New York, Amerika Serikat.
Meski dalam perjalanan karir yang demikian bagus, tapi iwan memilih jalannya sendiri . Iwan tinggalkan kota Big Apel New York, dengan segala kemeriahannya dan memilih kembali ke kota Apel Malang, Jawa Timur. “Di sini, saya ingin berterimakasih pada semua orang yang mendukung saya. Dan saya ingin melakukan sesuatu yang touch people,” tegasnya.
Warsito, lahir dari keluarga sederhana. Sejak kecil ia harus membantu ayahnya di sawah. Karena keterbatasan biaya, Warsito gagal berkuliah di jurusan kimia, UGM. Ia kemudian mendaftar beasiswa ke Jepang dan dan lulus. Di Universitas Shizuoka, Jepang, ia menyelesaikan pendidikannya sampai meraih gelar doctor. Setelah lulus, ia kemudian menjadi ahli tomografi di Jepang. Warsito kemudian sempat pindah ke Amerika Serikat dan menjadi salah satu peneliti papan atas di Ohio University.
Dalam citra dan kesuksesan itu, rasa nasionalisme Warsito kembali tergugah. Anak dari lereng Gunung Lawu, Jawa Tengah itu akhirnya memutuskan pulang kembali ke tanah air di tahun 2006. Ia meninggalkan laboratorium besar di Amerika dan memilih mengembangkan Ctech labs Edwar Technolgy, sebuah laboratorium yang mengisi sebuah ruko di kawasan Tangerang, Banten.
Begitu juga hal nya dengan Udaya Halim. Seorang pejuang kehidupan dan pendidikan asal Tangerang, Banten.
Masa kecil udaya halim adalah sebuah perjuangan. Udaya hanya seorang anak yang hanya bersekolah sampai SMP setelah itu, anak ke 4 dari 8 bersausara itu harus menjadi pelayan toko di Pasar Baru.
Meski putus sekolah, udaya tak memupus harapannya untuk belajar, terutama belajar bahasa inggris. Dengan memilah-milah uang sakunya, ia bisa memenuhi keinginannya untuk membayar kursus bahasa inggris.
Dengan perjuangan yang tak mudah, akhirnya udaya bisa berangkat dan belajar bahasa inggris di sekolah bahasa di Bournemouth yg bernama King’s. Dengan upaya keras juga, akhirnya Udaya memiliki lembaga kursus yang diberi nama King’s English Course. Dan di tahun 1992 lembaga ini resmi menjadi perwakilan resmi King’s England. Bukan saja menjadi perwakilan di indonesia, tetapi juga menjadi business alliance, bahkan lembaga itu kini menjadi satu-satunya pemilik IBEC yang menjadi perwakilan resmi dari 25 universitas terkemukan di Inggris.
Saat kerusuhan terjadi tahun 1997, Udaya dan keluarga terpaksa hijrah ke Perth, Australia. Disana ia belajar dan membuka usaha hingga sukses.
Meski punya pengalaman buruk dengan kerusuhan tahun 1997 itu, tapi Udaya tetap menunjukkan kecintaannya pada Indonesia.
Ia kembali ke tanah air tahun 2004 lalu, kemudian mendirikan sekolah yang diberi nama Prince’s Creative School dan menjadi konsultan bagi anak-anak yang bermasalah. Ia bahkan menjual sahamnya di beberapa institusi di Perth, dimana ia menjabat sebagai direktur agar dapat lebih fokus mengembangkan sekolah ini.
Selain itu, Udaya merasa terpanggil untuk menyelamatkan bangunan bersejarah di dekat kelenteng Boen Tek Bio di kawanan cina benteng, tangerang, yang ia akan jadikan museum benteng heritage.
Sementara itu seorang pria asal Kota Apel Malang, Jawa Timur, yang memiliki karir cemerlang di kota big apel, New York, Amerika Serikat, tiba –tiba memutuskan berhenti dan pulang ke kampung halamannya.
“Waktu saya memutuskan berhenti dan kembali ke Indonesia banyak yang Tanya, are you crazy? “ ujar Iwan saat tampil di Kick Andy. Dengan tenang, Iwan menceritakan bahwa tujuannya bekerja sampai ke New York, adalah untuk mencari uang agar bisa memiliki kamar tidur sendiri. Ini adalah obsesi terbesarnya. Maklum, iwan adalah keluarga sederhana, ayahnya yang hanya sopir angkot tak cukup dana untuk bisa membuatkan kamar yang layak untuk anak-anaknya. Iwan tinggal di rumah berukuran enam kali tujuh meter, dimana ia harus berbagi tempat dengan orang tua dan empat saudari perempuannya.
Dengan susah payah dalam masalah pembiayaan, Iwan bisa lulus sekolah bahkan kuliah di IPB, Bogor. Dan dalam kurun waktu 4 tahun, kuliahnya selesai dan menjadi lulusan terbaik di tahun 1997.
Berkat upaya dan keinginan kuat untuk keluar dari kemiskinan keluarganya, ia berhasil mendapatkan pekerjaan di Amerika sebagai Senior manager operations. Selama sepuluh tahun menitih karier di negeri Paman Sam, ia akhirnya bisa menduduki jabatan bergengsi yaitu sebagai direktur internal client management data analysis and consulting nielsen consumer research New York, Amerika Serikat.
Meski dalam perjalanan karir yang demikian bagus, tapi iwan memilih jalannya sendiri . Iwan tinggalkan kota Big Apel New York, dengan segala kemeriahannya dan memilih kembali ke kota Apel Malang, Jawa Timur. “Di sini, saya ingin berterimakasih pada semua orang yang mendukung saya. Dan saya ingin melakukan sesuatu yang touch people,” tegasnya.
sumber : kickandy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar